Dr. Sunaryati Sudigdoadi dari Tim Mikrobiologi Uji Klinis Vaksin Universitas Padjadjaran, Bandung, menjelaskan hasil uji klinis vaksin Covid-19 buatan Sinovac terhadap 540 relawan pertama bisa dievaluasi pada Januari 2021, setelah dua kali vaksinasi.
Hasil evaluasi itu akan dilaporkan ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Kalau sudah dianggap aman dan efektif, BPOM akan memberi izin untuk produksi, pengedaran, dan vaksinasi.
“Sejauh ini, Alhamdulillah, kalau yang kami amati mengenai efek samping dan sebagainya, selama ini tidak ada yang sampai serius, syok, dan sebagainya. Kalau memang efek dari imunisasi secara umum biasalah seperti imunisasi yang lain,” kata Sunaryati, dalam diskusi bertajuk “Setelah Vaksin Datang,” Sabtu (12/12).
Seperti yang sudah diketahui, uji klinis kandidat vaksin Covid-19 buatan Sinovac dimulai Agustus dengan melibatkan 1.620 relawan. Uji klinis itu untuk melihat efektivitas dan keamanannya.
Berdasarkan jadwal, keseluruhan hasil uji itu keseluruhan hasil uji itu akan disampaikan pada akhir Mei 2021.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan vaksinasi pertama nantinya akan difokuskan di Jawa dan Bali karena kasus Covid-19 di kedua pulau ini cukup tinggi.
Nadia, yang juga juru bicara vaksin, mengakui belum bisa memastikan kapan tahap awal vaksinasi Covid-19 akan dilaksanakan karena Kementerian Kesehatan masih menunggu persetujuan dari BPOM dan fatwa halal dari MUI. Dia berharap hasil evaluasi uji klinis tahap ketiga pada akhir Januari 2021 akan merekomendasikan penggunaan vaksin Sinovac, sehingga bisa disuntikkan kepada tenaga kesehatan lebih dulu.
Dia menambahkan kalau izin BPOM dan fatwa halal MUI sudah keluar, vaksinasi awal akan dilakukan dua hingga empat pekan setelah persetujuan kedua lembaga itu. Sebab, butuh waktu untuk pendistribusian dari PT Bio Farma hingga sampai ke fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan.
“Dari perhitungan dan rekomendasi para ahli nasional imunisasi, yaitu ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization.red), ini memang minimum sebagai langkah awal. Juga, memperhatikan ketersediaan vaksin, kita harus melakukan vaksinasi kepada 107 juta orang. Artinya itu membutuhkan kurang lebih 214 juta dosis. Itu angka yang luar biasa,” ujar Nadia.
Dari 107 juta orang yang akan divaksinasi Covid-19, lanjut Nadia, pemerintah akan memusatkan perhatian pada tiga sasaran utama, yakni tenaga kesehatan, pemberi pelayanan publik (seperti tentara, polisi, petugas pemadam kebakaran), dan kelompok rentan, yaitu orang-orang yang memiliki keterbatasan secara sosial ekonomi, tapi tinggal di daerah rawan tertular virus Covid-19.
Sedangkan penerima vaksin mandiri akan dikelola oleh Kementerian Badan usaha Milik Negara (BUMN). Vaksin mandiri ini ditujukan kepada masyarakat, terutama pelaku ekonomi atau pengusaha yang akan digunakan oleh para karyawannya. Nadia menegaskan sesuai peraturan presiden, Bio Farma adalah BUMN yang ditunjuk untuk menyediakan vaksin Covid-19 di Indonesia.
Untuk vaksin mandiri, lanjut Nadia, perhitungan awal 30-37 persen. Namun Dewan Perwakilan rakyat meminta pemerintah memperluas proporsi penerima vaksin semi-mandiri atau berbayar. Pemerintah, tambah Nadia, belum bisa memastikan harga vaksin mandiri.
Selain Sinovac, Nadia mengungkapkan, pemerintah sudah menentukan enam vaksin Covid-19 yang bisa dipakai dalam program vaksinasi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemerintah ingin menjaga suaya tidak beredar vaksin yang efikasi dan efektifitasnya tidak baik atau vaksin-vaksin palsu.
Nadia mengatakan untuk meyakinkan masyarakat, pemerintah akan melakukan sosialisasi mengenai vaksinasi Covid-19. Dia mengharapkan dukungan semua pihak guna membantu Indonesia terbebas dari wabah Covid-19.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh mengatakan pada akhir Oktober lalu bahwa tim audit dari Kementerian Kesehatan, BPOM, dan MUI telah terbang ke Tiongkok untuk menyaksikan langsung proses pembuatan vaksin Covid-19 oleh Sinovac. Produsen masih harus melengkapi satu dokumen tentang pembiakan vaksin untuk menjadi bahan telaahan MUI dalam menetapkan fatwa.
“Ketika sudah tuntas pada aspek keamanan dan kemanfaatan, kita berbincang soal kehalalan. Prinsip dasarnya, kita tidak boleh mengonsumsi kecuali yang halal. Seandainya dalam proses produksinya terpenuhi standar kehalalan, berarti nggak ada isu,” ujar Asrorun Niam.